Jakarta, Fireflycinema –
Teater Koma sukses mementaskan naskah Matahari Papua di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Kamis (7/6) hingga Minggu (9/6).
Naskah Matahari Papua merupakan karya terakhir Nano Riantiarno sebelum mengembuskan napas terakhirnya pada 20 Januari 2023. Pementasan kali ini disutradarai oleh Rangga Riantiarno, putra Nano.
Berlatarkan tempat di wilayah Kamoro, Papua, Matahari Papua mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar tumbuh dewasa, di bawah asuhan sang Mama, Yakomina, dan didikan Dukun Koreri.
Saat mencari ikan, Biwar menolong Nadiva dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga, yang meneror Tanah Papua.
IKUTI QUIZ
Biwar bercerita kepada Mamanya, sang Mama justru mengisahkan memori pahit. Papa dan tiga paman Biwar ternyata mati dibunuh Naga. Mama, yang sedang mengandung, lolos lalu melahirkan Biwar. Biwar lalu bertekad balas dendam, membunuh Sang Naga.
Bahas Isu soal Penindasan hingga Jiwa Merdeka
Matahari Papua pada dasarnya berbicara soal penindasan yang masih saja terjadi di mana-mana.
Perlambangan kekuasaan melalui seekor naga yang ternyata juga monster adalah pilihan terbaik untuk menunjukkan kuasa itu bisa sangat lekat dengan kekejaman.
Visual naga yang besar dan menakutkan ditunjang dengan iringan musik, permainan lampu, serta latar mistik setiap karakter ini muncul. Hal ini tentu membuat penggambaran kekejian terasa eksplisit dan vulgar.
Meski menggambarkan megah naga secara nyata di panggung, penampilan Teater Koma kali ini tak semeriah beberapa pementasannya sebelum COVID-19 menyerang. Kini lebih cenderung memanfaatkan teknologi terbaru.
Ada layar besar di tengah panggung yang berganti sesuai dengan latar adegan, ada pula layar terkembang di bagian depan berisi siluet yang menunjang beberapa adegan.
Terlepas dari hal itu, penampilan aktor, musik, lagu, kostum, dan permainan lampu pementasan ini tetap spektakuler.
Pementasan Matahari Papua Teater Koma/ Foto: Dini Astari
|
Selain bicara soal penindasan, dalam konferensi pers yang digelar seminggu sebelum pentas digelar, Ratna Riantiarno, produser lakon Matahari Papua, mengungkap bahwa naskah ini sebenarnya bicara soal kemerdekaan.
Bukan hanya kemerdekaan orang-orang di tanah Papua, namun lebih jauh bicara soal kebebasan individual.
Dalam pementasannya, Teater Koma berhasil menerjemahkan isu kemerdekaan diri lewat karakter-karakter yang hadirkan di atas panggung.
Pementasan Matahari Papua Teater Koma/ Foto: Dini Astari
|
Relevan dengan Isu Penindasan yang Terjadi di Dunia
Sebelum Matahari Papua dipentaskan, media sosial diramaikan oleh tagar eyes on Papua, seiring dengan gaung eyes on Rafah yang juga viral beberapa akhir ini.
Menanggapi momentum yang pas tersebut, Rangga Riantarno selaku sutradara mengaku tak menyangka.
“Kebetulan kita hampir mau pentas ada tagar (eyes on Papua), jadi momentumnya tepat dan sebelum-sebelumnya secara internasional ada penindasan yang terjadi juga,” kata Rangga ditemui di GBB TIM, Kamis (6/6).
Menurutnya, momentum seperti ini bisa saja terjadi. Misalnya melihat naskah-naskah yang ditulis ayahnya beberapa tahun lalu, naskah tersebut akan terasa tetap relevan dengan saat ini.
Hal ini lantaran kekuasaan keji atau penindasan akan selalu ada di dunia.
“Beliau cukup visioner sih kadang-kadang. Naskah yang dia tulis di 20 tahun lalu, lalu dibicarakan 20 tahun kemudian masih relevan. Berati praktik-praktik tidak baik itu hampir bisa dibilang abadi sifatnya. Kalau kita pentaskan hal ini 20 tahun lagi mungkin juga masih relevan,” terangnya.
Bicara soal mementaskan naskah ini ke luar Jakarta, Rangga mengaku masih mempertimbangkan. Bukan tanpa sebab, properti yang besar membuat ia harus selektif memilih tempat pertunjukan di kota lain.
“Mungkin (dibawa ke kota lain), tapi kita harus melihat (situasi) karena naganya besar, ada set lain juga yang besar. Kita harus lihat,” tutupnya.
(dia/arm)