Jakarta, Fireflycinema –
Teater Koma bersiap mementaskan naskah Matahari Papua yang merupakan naskah terakhir yang ditulis oleh Nano Riantiarno, sutradara, penulis, sekaligus pendiri Teater Koma.
Naskah ini akan dipentaskan pada 7 hingga 9 Juni 2024 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Maruzki, Jakarta pusat.
Jauh sebelum nantinya dipentaskan dalam durasi lebih dari dua jam, Matahari Papua ternyata lahir dari drama pendek yang dibuat Nano Riantarno pada 2014.
Naskah Matahari Papua hanya berdurasi 45 menit saat dipentaskan di Galeri Indonesia Kaya kala itu. Ketika naskah berkembang menjadi naskah drama panjang, Nano Riantarno pun sempat yakin akan menyutradarai.
IKUTI QUIZ
Diungkap oleh Ratna Riantiarno, istri mendiang Nano sekaligus produser pementasan Teater Koma kali ini, sang suami sempat membicarakan soal naskah kepada pemain musik hingga artistik.
“Matahari Papua sudah sempat dibahas oleh Pak Nano kepada para penata sebetulnya. Pak Nano yakin sekali akan menyutradarai naskahnya ini, jadi dia udah ngomong kepada penata musiknya, kepada penataan artistiknya, semua sudah sempat beberapa kali rapat,” cerita Ratna dalam konferensi pers yang digelar di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Rabu (29/5).
Teater Koma siap pentaskan naskah Matahari Papua karya terakhir Nano Riantiarno/ Foto: Dini Astari
|
Keinginan Nano Riantiarno untuk menyutradarai Matahari Papua harus pupus dipisah ajal. Kini, bangku sutradara itu diisi oleh Rangga Riantarno, putranya.
Rangga menyebut persiapan dilakukan layaknya produksi Teater Koma sebelum sang ayah berpulang. Untuk menghidupkan napas Nano dalam proses latihan, Rangga sengaja memajang foto Nano di sanggar.
“Di sanggar kita taruh fotonya Pak Nano. Kalau pemain dan pemusik itu langsung ngelihat fotonya Mas Nano, jadi ya kayak diplototin gitu. Jadi latihannya harus bener, harus fokus,” kata Rangga seraya tertawa.
Bicara soal pesan yang dibawa lewat Matahari Papua, Ratna menjelaskan bahwa naskah ini bicara soal kemerdekaan.
Bukan hanya soal kemerdekaan di Papua karena naskah ini berlatar tanah Papua, Matahari Papua sebenarnya bicara lebih dalam, yakni tentang kemerdekaan dalam diri seorang manusia.
“Kalau kita lihat judulnya Matahari Papua sebetulnya apa yang ingin disampaikan adalah mengenai kemerdekaan, baik secara universal maupun individual. Tentu saja kita sebagai bangsa dan negara sudah merdeka, tapi apakah kita sebagai umat manusia sudah merdeka,” kata Ratna menjelaskan.
“Naskah ini berbicara soal kemerdekaan kita yang tentunya sekarang banyak yang menuntut merdeka. Jadi bukan bicara Papua langsung walau ceritanya Papua, ini bicara kemerdekaan,” tutupnya.
Berlatarkan tempat di wilayah Kamoro, Papua, Matahari Papua mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar tumbuh dewasa, di bawah asuhan sang Mama, Yakomina, dan didikan Dukun Koreri. Saat mencari ikan, Biwar menolong Nadiva dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga, yang meneror Tanah Papua.
Biwar bercerita kepada Mamanya, sang Mama justru mengisahkan memori pahit. Papa dan tiga paman Biwar ternyata mati dibunuh Naga. Mama, yang sedang mengandung, lolos lalu melahirkan Biwar. Biwar lalu bertekad balas dendam, membunuh Sang Naga.
(dia/yoa)